Senin, 13 Juni 2011


Tugas Ilmu Sosial Budaya Dasar
PERAHU BIDAR




Agusra Authority
08101003053

Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan IPA
2010/2011

Tugas Ilmu Sosial Budaya Dasar
PERAHU BIDAR




Agusra Authority
08101003053

Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan IPA
2010/2011


KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Alloh SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Budaya Unik Perahu Bidar”.
Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata pelajaran Ilmu Sosial Budaya Dasar (ISBD).
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penelitian ini, khususnya kepada :
  1. Ibu Hudaidah sebagai pembimbing mata kuliah ini.
  2. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian yang besar kepada penulis, baik selama mengikuti perkuliahan maupun dalam menyelesaikan makalah ini
  3. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.










DAFTAR ISI

Kata Pengantar                                                                                                           1
Daftar Isi                                                                                                                     2
Latar Belakang                                                                                                            3
Rumusan Masalah                                                                                                       3
Tujuan                                                                                                                         3
Manfaat                                                                                                                       3
Sejarah Asal Mula Perahu Bidar                                                                                 4
Struktur Perahu Bidar                                                                                                 7
Kesimpulan                                                                                                                 9
Daftar Pustaka                                                                                                            10

A.  Latar Belakang
Lomba bidar adalah lomba mendayung perahu yang dinamai ‘bidar’. Seni dayung tradisional Palembang ini hidup sejak zaman dahulu kala hingga sekarang. Pada perayaan hari besar, terutama Hari Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus, lomba bidar dilangsungkan di Sungai Musi yang mengalir di tengah-tengah kota Palembang. Perahu bidar berbentuk khusus.
Bidar adalah singkatan dari biduk lancar. Sejenis biduk (perahu) yang zaman dahulu kala khusus digunakan oleh petugas penghubung atau kurir. Bentuknya kecil dan hanya muat untuk seorang. Akan tetapi, pada perlombaan sekarang, satu perahu didayung oleh belasan orang.
Menurut cerita, lomba bidar bermula dari peristiwa Putri Dayang Merindu. Seorang gadis cantik jelita tinggal di bagian hulu kota Palembang. Anak tunggal, ayahnya bernama Sah Denar, bersahabat dengan Tua Adil, teman sekampung keluarga kaya raya yang mempunyai anak pria bernama Dewa Jaya. Beranjak remaja, Dewa Jaya dikirim orang tuanya ke beberapa negeri lain untuk menuntut ilmu bela diri, terutama pencak silat.
B.  Rumusan Masalah
·         Bagaimana sejarah Perahu Bidar ?
·         Apa perahu bidar tersebut ?

C.  Tujuan
Mengenal dan mengetahui asal usul perahu bidar

D.  Manfaat
·         Melestarikan budaya unik perahu bidar tersebut
·         Menambah pengetahuan tentang budaya perahu bidar
·         Mengembangkan budaya asli sumatra selatan



E.  Sejarah Asal Mula Perahu Bidar
Description: 1299962275554824321
Lomba bidar adalah lomba mendayung perahu yang dinamai ‘bidar’. Seni dayung tradisional Palembang ini hidup sejak zaman dahulu kala hingga sekarang. Pada perayaan hari besar, terutama Hari Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus, lomba bidar dilangsungkan di Sungai Musi yang mengalir di tengah-tengah kota Palembang. Perahu bidar berbentuk khusus.
Bidar adalah singkatan dari biduk lancar. Sejenis biduk (perahu) yang zaman dahulu kala khusus digunakan oleh petugas penghubung atau kurir. Bentuknya kecil dan hanya muat untuk seorang. Akan tetapi, pada perlombaan sekarang, satu perahu didayung oleh belasan orang.

Menurut cerita, lomba bidar bermula dari peristiwa Putri Dayang Merindu. Seorang gadis cantik jelita tinggal di bagian hulu kota Palembang. Anak tunggal, ayahnya bernama Sah Denar, bersahabat dengan Tua Adil, teman sekampung keluarga kaya raya yang mempunyai anak pria bernama Dewa Jaya. Beranjak remaja, Dewa Jaya dikirim orang tuanya ke beberapa negeri lain untuk menuntut ilmu bela diri, terutama pencak silat.

Bertahun-tahun menuntut ilmu, ketika kembali dia sudah jadi pemuda remaja yang tampan. Ia sangat kagum dan jatuh cinta pada dayang merindu, yang sejak kecil menjadi teman bermainnya. Dewa Jaya minta agar orang tuanya melamar. Sah Denar dan istrinya senang mendengar hasrat melamar itu.

Ketika suami istri menanyai anak mereka, Dayang Merindu dengan lembut menjawab:
“Mohon ampunan pada Ayah dan Bunda. Belum tersirat rasa cinta di hati saya terhadapnya. Oleh karena itu, saya belum mau mengatakan bersedia jadi istrinya. Namun, jika Ayah dan Bunda memaksa, saya tidak akan durhaka pada orang tua.” Sah Denar dan istrinya berpendapat, mungkin karena Dayang Merindu baru berusia sembilan belas tahun, belum ada hasrat bercintaan dengan pemuda. Ketika keluarga Tua Adil datang melamar, mereka menerima lamaran itu dengan ikatan pertunangan.

Sementara itu, di sebuah kampung di hilir kota Palembang, ada seorang pemuda bernama Kemala Negara, anak keluarga petani di tepi Sungai Musi. Selama merantau mencari nafkah ke negeri lain, dia banyak belajar ilmu bela diri. Pada suatu hari, Kemala Negara sedang mandi bersama teman-temannya di Sungai Musi. Mereka melihat sebuah cawan tembaga kecil hanyut terapung dari hulu. Kemala Negara berenang ke tengah sungai mengambilnya.
“Biasanya cawan dan bunga serta minyak yang wangi seperti ini adalah bahan keramas cuci rambut wanita,” kata Kemala Negara. Temannya sependapat dan ada yang mengatakan, pastilah benda keramas itu milik wanita kaya raya, bangsawan.
“Benar. Apa gerangan sebabnya benda seanggun dan semahal ini bisa hanyut? Mungkin ada pria jahat yang mengganggu wanita yang sedang keramas itu. Kita harus berusaha mengembalikannya,” ujar Kemala Negara. Temannya berkata:
“Benar. Carilah siapa pemiliknya, Kemala! Mana tahu nasib baik, pemiliknya masih gadis dan cantik pula. Sepadan dengan kau.” Kemala Negara setuju pendapat temannya. Disimpannya cawan itu tanpa mengusik isinya. Hari itu juga, dia sendiri berperahu menghulu Sungai Musi.

Dua hari berperahu menghulu, terus bertanya, dan bersua dengan seorang gadis yang sedang mengambil air. Gadis itu tersenyum menjawab:
“Benar, Tuan Muda. Ini cawan keramas milik temanku. Dayang Merindu namanya. Tiga hari yang lalu kami mandi beramai-ramai. Dia keramas mencuci rambutnya. Diletakkannya cawan ini di rakit dan kami mandi bermain simbur-simburan. Dia sangat risau karena cawannya ini hanyut.”
“Terima kasih. Tolonglah Adik kembalikan padanya,” ujar Kemala Negara.
Gadis itu kagum meliht pemuda yang berwajah tampan di hadapannya. Dia berkata:
“Tuan Muda sendirilah yang mengembalikannya. Itu rumahnya di hulu situ. Pasti dia sangat berterima kasih.
“Ah, tolong kembalikanlah Dik. Saya khawatir nanti kalau-kalau dia mengira cawannya ini saya ambil begitu saja.”
“Tidak, Tuan Muda. Dayang Merindu itu gadis paling cantik jelita di seluruh kampung ini. Sangat rendah hati dan ramah. Tuan Muda sudah menemukan dan dua hari jauh-jauh dari hilir sana mengantarkannya ke sini.” Tapi karena Kemala Negara menolak untuk mengantarkan, gadis itu berkata:
“Baiklah. Sebentar lagi saya akan ke rumahnya. Kami akan mandi ramai-ramai petang ini. Nanti akan saya ceritakan semua kepadanya. Tuan Muda tunggu kami di tepi semak jalan ke tepian mandi. Serahkanlah langsung kepadanya.” Kemala Negara setuju. Ditambatkannya perahu di dekat belukar, dia menanti di jalan ke tepian mandi. Ketika dilihatnya gadis tadi datang bersama empat gadis, dapatlah dia menduga yang mana gerangan Dayang Merindu. Ketika saling pandang dari jarak yang masih agak jauh, pertama kali dalam hidupnya Dayang Merindu merasa darahnya bergetar, kagum melihat Kemala Negara membungkuk tnda hormat. Dayang Merindu langsung berujar:
“Temanku ini sudah menceritakan semua. Alangkah tingginya baik budi Tuan, telah menemukan dan sudi bersusah payah mengantarkan cawan itu.”
“Maaf Putri Jelita. Terimalah cawan ini. Saya bahagia karena telah dapat mengembalikannya,’ kata Kemala Negara. Dayang Merindu menyambut cawan itu. Masih saling memegang cawan, Dayang Merindu berujar:
“Dengar apa gerangan saya dapat membalas baik budi Tuan?”
Kemala Negara tak mampu berkata-kata. Darahnya gemuruh. Keduanya saling merasakan api cinta pertama bergelora di jiwa. Dayang Merindu sadar dan merasa malu pada teman-temannya. Ditariknya cawan itu. Namun, teman-temannya yang sudah maklum sengaja menjauh. Kemudian, berbincang-bincanglah kedua remaja yang saling jatuh cinta itu. Berkatalah Kemala Negara:
“Silahkan mandi. Teman-teman sudah menanti. Bolehkan kita bersua lagi?”
“Saya juga ingin berkata begitu. Dapatkah kita bersua lagi? Kami mandi dua kali sehari. Tunggulah di jalan ini.”

Tiga hari lamanya Kemala Negara berada di kampung itu. Enam kali mereka bersua dan berbincang. Ketika pulang ke kampungnya, Kemala Negara minta orangtuanya melamar Dayang Merindu. Akan tetapi, alangkah kecewanya mereka, ketika Sah Denar dan istrinya menolak lamaran, dengan alasan Dayang Merindu sudah dipertunangkan.
Kemala Negara sangat marah. Ditantangnya Dewa Jaya bertanding. Dewa Jaya tidak menolak. Keduanya menghadap Datuk kampung itu. Mereka menyatakan ingin bertanding. Siapa yang menang dialah yang berhak jadi suami Dayang Merindu.

Diumumkanlah ke seluruh kampung akan diadakan pertandingan. Seluruh penduduk pun berkumpul menyaksikan. Hanya Dayang Merindu yang tak mau keluar dari rumah. Dia sangat cemas kalau-akalu Kemala Negara kalah. Setengah hari penuh kedua pemuda itu bertanding pencak silat. Ternyata tak ada yang kalah. Oleh karena itu, Datuk memutuskan, pertandingan dialihkan pada lomba bidar. Siapa yang lebih dahulu mencapai garis finis, dialah yang menang.

Pada hari yang ditentukan, seluruh penduduk menyaksikan di tepi Sunagi Musi. Kedua pemuda itu mendapat sebuah perahu bidar yang kecil. Seluruh penduduk berdebar-debar menyaksikan karena ternyata kedua pemuda itu sama kuat dan sama cepat. Keduanya menggunakan tenaga dalam masing-masing. Ternyata keduanya mencapai garis finis pada saat yang bersamaan. Akan tetapi, seluruh penduduk menjdi cemas karena melihat kedua pemuda itu tertelungkup di perahu masing-masing. Ketika diperiksa, keduanya sudah tidak bernyawa lagi.

Mendengar berita itu, Dayang Merindu meninggalkan rumahnya. Datang ke pendopo dimana kedua mayat pemuda itu dibaringkan. Dia berdiri menghadap sang Datuk yang duduk di kursi kehormatan dekat kedua mayat itu. Dengan hormat, gadis itu berkata:
“Saya dan Kemala Negara saling mencinta. Akan tetapi, saya tahu Dewa Jaya juga sangat mencintai saya. Cintanya direstui oleh orang tua saya. Sekarang keduanya sudah menjadi mayat. Saya ingin berlaku adil terhadap keduanya. Mohon agar Datuk belah menjadi dua tubuh saya ini. Yang sebelah mohon dikuburkan bersama Kemala Negara dan yang sebelah lagi dikuburkan bersama Dewa Jaya.” Hadirin dan Datuk terpana mendengar keputusan Dayang Merindu itu. Sebelum mereka sempat berkata dan berbuat sesuatu, tangan kanan Dayang Merindu yang sejak tadi memegang sebelah pisau yang diolesi dengan racun terayun cepat. Ujung pisau menusuk dadanya. Dia rebah dan tewas di tempat itu.

Menurut cerita, seluruh penduduk sangat menghormati dan menyanjung Dayang Merindu yang berani berlaku adil terhadap pemuda yang mencintainya. Jika mereka mengadakan acara untuk memperingati Dayang Merindu yang jadi idola seluruh penduduk, mereka mengadakan lomba bidar.Cerita ini legenda belaka. Orang tak percaya itu pernah terjadi. Namun, di Palembang, tempat Dayang Merindu mandi berkeramas, sampai sekarang bernama Kampung Keramasan. Lomba bidar dikembangkan, sampai sekarang dan seterusnya akan hidup sebagai seni tradisional dayung Palembang. Kisah Dayang Merindu masih terus hidup sampai sekarang. Kisah ini sering dipentaskan dengan tari, melambangkan kecantikan, kejujuran, penghormatan pada orang tua dan kemampuan bertindak adil terhadap orang yang telah berkorban jiwa karena mencintainya.
F.   Struktur Perahu Bidar

Di daerah Sumatera Selatan terdapat berbagai macam jenis perahu bidar, namun yang paling terkenal hanya ada tiga, yaitu: (1) bidar kecik atau bidar mini, adalah jenis perahu bidar yang paling kecil yang hanya beranggotakan 11 orang. Bidar jenis ini umumnya dipergunakan oleh para pelajar dalam perlombaan atau untuk latihan mendayung perahu; (2) bidar pecalangan, yaitu bidar jenis menengah yang beranggotakan 35 orang. Bidar jenis ini biasa diperlombakan di Kota Palembang (Sungai Musi) dan juga di daerah-daerah lain seperti Kabupaten Ogan dan Kabupaten Muara Enim di Sungai Lematang; dan (3) perahu bidar, yaitu perahu yang dipergunakan setiap tahun sekali untuk merayakan hari besar kemerdekaan Indonesia di Sungai Musi. Perahu jenis ini berukuran besar yang panjangnya dapat mencapai 26 meter dan diawaki oleh 57 atau 58 orang. Dalam tulisan ini akan diuraikan bidar jenis ketiga yaitu perahu bidar yang dibuat oleh para perajin perahu di Desa Sungai Lebong, Kecamatan Ogan dan Komering Ilir, Sumatera Selatan, yang biasa dipergunakan untuk perlombaan bidar di Sungai Musi, Palembang.

Sebuah perahu bidar yang didesain sebagai perahu lomba rata-rata memiliki panjang sekitar 26 meter (dari haluan ke buritan), lebar 1,37 m (bagian yang terlebar), dan tinggi sekitar 0,70 meter (bagian yang paling dalam). Pada bagian jalur atau lunas perahu yang berukuran panjang sekitar 20 meter dan lebar 0,09 meter terbuat dari kayu utuh jenis kempas, bungus atau rengas. Ketiga jenis kayu yang banyak terdapat di pedalaman Kabupaten Ogan dan Komering Ilir tersebut dianggap sebagai kayu yang kuat dan tahan terhadap air.

Pada bagian tulang atau kerangka perahu yang berbentuk balok-balok melengkung dengan ukuran sekitar 7x15 meter terbuat dari kayu bungus atau rengas. Bagian kerangka ini gunanya untuk memperkuat perahu dan sekaligus sebagai penghubung antara lunas dengan pinggiran atau dinding perahu yang terbuat dari kayu merawan dengan ukuran panjang sekitar 26 meter, lebar 0,12 meter dan tebal 0,03 meter.

Di sepanjang pinggiran bagian dalam perahu (kiri dan kanan), terdapat balok-balok kayu yang disebut buayan. Buayan pada sebuah bidar umumnya terbuat dari kayu jenis slumer dan gunanya ialah sebagai tempat dudukan palangan perahu dengan ukuran panjang sekitar 26 meter, lebar 0,5 meter dan tinggi 0,10 meter. Palangan pada perahu bidar yang gunanya adalah sebagai tempat duduk para pedayung berbentuk papan selebar 15 centimeter yang dipasang melintang tepat diatas buayan.
Pada bagian haluan dan buritan perahu terdapat dudu’an, yaitu lantai papan yang terbuat dari kayu merawan dengan ukuran sekitar 70x30 centimeter. Dudu’an pada bagian haluan digunakan sebagai tempat duduk juru batu (komandan atau pemberi aba-aba), sedangkan dudu’an bagian buritan digunakan sebagai tempat duduk penyibur (orang yang memberi semangat kepada para pedayung dengan jalan menyiburkan air ke kiri dan ke kanan dengan menggunakan dayungnya).

Sebagai catatan, pada bagian haluan perahu bidar biasanya berukir motif kepala naga atau buaya dan diberi warna semarak agar menarik. Tiap bidar juga diberi nama seperti: Aki Gede Ing Suro, Sigentar Alam, Keramasan dan lain sebagainya. Tujuan dari pengukiran, pewarnaan dan pemberian nama pada setiap bidar tersebut adalah agar dapat “tampil beda” dari yang lain.

Selain itu, perahu bidar juga dilengkapi dengan peralatan khusus, seperti: timba yang berbentuk setengah silinder dengan panjang sekitar 32 centimeter dan garis tengah 30 centimeter yang digunakan untuk mengeluarkan air yang masuk ke dalam bidar; beberapa buah dayung yang terbuat dari kayu merawan; dan sebuah gong sebagai pengatur irama agar gerakan para pedayung menjadi serentak.


G.  Kesimpulan

·         Lomba bidar adalah lomba mendayung perahu yang dinamai ‘bidar’. Seni dayung tradisional Palembang ini hidup sejak zaman dahulu kala hingga sekarang.
·         Menurut cerita, lomba bidar bermula dari peristiwa Putri Dayang Merindu. Seorang gadis cantik jelita tinggal di bagian hulu kota Palembang.
·         Di daerah Sumatera Selatan terdapat berbagai macam jenis perahu bidar, namun yang paling terkenal hanya ada tiga, yaitu: bidar kecik, bidar pecalangan dan perahu bidar.



DAFTAR PUSTAKA
·         www.google.com
·         www.potlot-adventure.com
·         www.cantiknya-ilmu.co.cc
·         http://jurnalnasional.com
·         http://www.palembang.go.id



2 komentar: